Wednesday, May 18, 2016

jakarta diprediksi akan tenggelam pada tahun 2030

Jakarta tenggelam tahun 2030. Begitu prediksi para ahli dan juga sudah disadari Pemerintah jika tak ada langkah cepat mengatasi masalah air Ibu Kota. Setiap tahunnya permukaan tanah Jakarta turun 5-10 Cm sehingga 40% wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut.

"Diperkirakan seluruh Jakarta Utara di bawah permukaan laut pada 2030. Akibatnya saat tersebut 13 sungai yang melewati Jakarta tidak bisa alirkan airnya ke Teluk Jakarta," ujar Jokowi di Kantor Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (27/4/2016)

Pemanasan global yang menaikkan permukaan air laut, penurunan tanah/daratan yang terjadi akibat pembangunan yang sporadis serta air bah dari sungai-sungai yang meluap, merupakan kombinasi komplit yang mengantar Jakarta menuju ujung takdirnya. Gejala itu sudah nampak terlihat dan bahkan terasa bila musim hujan tiba. Air meluap dimana-mana. Padahal, mestinya air bermuara ke laut.

Apa lacur, laut lebih tinggi dari daratan, dan sudah hukum alam, air mengalir ke tempat yang lebih rendah. Air mengalir ke daratan Jakarta. Satu-satunya cara agar air tersebut tidak menyerbu Ibu Kota adalah dengan membangun bendungan raksasa.

Banjir Jakarta adalah petaka bagi semua. Contoh kasus, karena banjir akibat rob dan hujan pada tahun 2015, kerugian perhari Rp 1,5 triliun. Begitu kata Ketua Kadin Jakarta.

Padahal Jakarta ini pusat ekonomi dan pemerintahan. Sebanyak 27,35% aktivitas ekonomi Indonesia ada di Jakarta. Bila perekonomian Jakarta lumpuh, dipastikan berdampak dalam skala nasional. Tak hanya itu, pemerintah pusat pun terhambat. Bagaimana tidak, kantor-kantor pusat hampir seluruh institusi bisns dan pemerintahan, berada di Jakarta. Artinya, ancaman Jakarta, adalah marabahaya bangsa.
Namun, masih ada waktu untuk menyelamatkan Ibu Kota. Setidaknya, ada beberapa program yang bisa dilakukan agar Jakarta tidak benar-benar tenggelam tahun 2030. Satu di antaranya adalah REKLAMASI.

[+Gambar] 14 Tahun Lagi Jakarta Tenggelam, Ini Cara Mencegahnya.

Reklamasi, laiknya hukum perubahan, pasti memicu pro dan kontra. Tapi itu hal biasa. Sebab, memang ada yang enggan berubah dan lebih memilih menikmati status quo, ingin berada di situasi lama yang sama.

Sebenarnya, wacana reklamasi pesisir pantai di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru terjadi pada masa Presiden Joko Widodo. Jokowi termasuk sangat mendorong realisasi Proyek Garuda yang bernilai Rp 600 triliun. Giant Sea Wall atau reklamasi di teluk Jakarta ini nantinya diharapkan menjadi tanggul raksasa mencegah agar Jakarta tidak tenggelam.

Jauh sebelumnya, ketika masih menjabat presiden, Soeharto telah memulai gagasan reklamasi pesisir pantai Jakarta. Bahkan, Soeharto menyetujui gagasan pembuatan Taman Ria Ancol sekaligus penyegaran kembali kawasan Pulau Seribu.

Demikian halnya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gagasan tanggul raksasa di ujung teluk Jakarta yang digagas pemprov DKI mendapatkan persetujuannya ketika SBY menjabat. Melalui menteri Plt. Menko Ekonomi waktu itu, Chairul Tanjung, tiang pancang proyek tersebut ditegakkan. Oleh karena itu, pemerintah pusat berperan aktif dalam mendukung rencana reklamasi yang tujuannya demi kebaikan masyarakat Indonesia ke depannya.

Esensi reklamasi di kota-kota pesisir yang strategis adalah untuk mengoptimalkan potensi ekonomi dan menyelamatkan lingkungan. Bukan sekadar menambah jumlah pulau di Indonesia yang saat ini telah memiliki perbendaharaan 17.250 pulau.
Ibu Kota Belanda, Amsterdam termasuk salah satu kota yang memiliki tofografi mirip Jakarta. Selain daratan berada di bawah permukaan air laut, Amsterdam juga dialiri banyak sungai. Namun, potensi tenggelam Amsterdam bisa dibalik menjadi pesona wisata nan indah. Lihatlah, Kota ini berhasil melakukan reklamasi dengan membangun bendungan dan melakukan reklamasi.

Comments 0